Indonesia | Air dan iklim | Hivos
Film ‘Saksi Iklim’: Suara-suara Solusi Krisis Iklim
Pada tengah malam tanggal 4 April 2021, Topan Seroja menghantam Provinsi Nusa Tenggara Timur, meninggalkan duka dan trauma. Topan ini menyebabkan 181 orang meninggal, 184 orang terluka, 26 orang hilang, 50.000 orang kehilangan tempat tinggal, dan 466.000 orang terkena dampak langsung. Krisis iklim bukanlah dongeng, melainkan sebuah kenyataan yang berdampak buruk bagi bumi dan manusia.
Topan Seroja memang telah berlalu, namun potensi terjadinya topan susulan dan bencana terkait iklim lainnya di Indonesia akibat dampak krisis iklim masih mengepung Nusa Tenggara Timur (NTT).
Kurangnya curah hujan membuat musim tanam mundur hingga dua bulan.
Dikutip dari rri.coKepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT, Lecky Frederick Koli, menyatakan bahwa luas tanam padi di NTT baru mencapai lebih dari 40.000 hektare dari total luas lahan lebih dari 214.000 hektare.
Gelombang laut sering kali membesar, sehingga menyulitkan para nelayan untuk mencari ikan.
Selain itu, sampah menumpuk di garis pantai dan merusak terumbu karang.
Ketika kita membahas dampak krisis iklim, kita akan mendengar banyak cerita dari NTT.
Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari atau fenomena yang membutuhkan perhatian kita dan menuntut kita untuk beradaptasi dan membangun ketahanan melalui solusi krisis iklim yang adil.
Krisis iklim harus diatasi dengan berbagai solusi berbasis kearifan lokal, menjadikan masyarakat terdampak sebagai aktor utama dalam pengembangan solusi iklim.
Berbagai solusi iklim tersebut merupakan kisah nyata, bukan dongeng belaka.
Solusi iklim yang dilakukan oleh warga NTT didokumentasikan dengan baik melalui serangkaian film dokumenter pendek bertema Climate Witness.
HARAPAN MANGROVE DI HOLULAI
Perkenalkan Balsasar Darius Mboeik, seorang tetua berusia 47 tahun di komunitas suku Manggi di Manggarai, NTT.
Ia memimpin inisiatif penanaman 2.500 pohon bakau di sepanjang garis pantai di dekat Desa Holulai.
Upaya ini merupakan respon warga untuk menjaga desa dari ancaman badai.
Desa ini memiliki aturan tradisional yang dikenal sebagai Hoholok Papadak.
This rule regulates and protects the marine ecosystem – melarang mengambil dan menebang sumber daya dari hutan bakau di sekitarnya.
Ada sanksi adat dan sanksi sosial bagi mereka yang melanggar.
Selain itu, aturan tersebut telah diformalkan melalui peraturan desa.
KEDAULATAN PANGAN LOKAL DI HEWA
Di Desa Hewa, terdapat 17 mata air yang menjadi sumber air utama bagi masyarakat.
Sayangnya, dua dari mata air tersebut telah mengering, sementara 15 mata air lainnya mengalami penurunan debit air.
Perubahan ini secara langsung terkait dengan krisis iklim yang melanda Desa Hewa dan berdampak pada ketahanan pangan di daerah tersebut.
Melestarikan pangan lokal merupakan salah satu kunci bagi warga untuk beradaptasi dan bertahan di tengah krisis iklim saat ini.
Perkenalkan Maria Mone Soge, seorang guru matematika SMA berusia 34 tahun di SMA Negeri 1 Wulanggitang.
Menjadi seorang guru adalah cita-citanya sejak kecil.
Di luar mengajar, ia juga seorang petani.
Bagi Maria, memulihkan mata air dengan menanam betung bambu merupakan salah satu solusi iklim yang menjaga sumber pangan dan melestarikan berbagai tanaman pangan lokal untuk kedaulatan pangan.
JEJAK KARBON DARI SAMPAH PLASTIK
Di balik pantai biru Larantuka yang indah, terdapat sampah plastik yang berserakan, yang menyebabkan meningkatnya polusi di laut.
Klemens Heka Hayon, seorang warga berusia 35 tahun, mengakui adanya kaitan yang kuat antara industri plastik dan krisis iklim yang sedang berlangsung.
Kesadaran ini membuatnya mengambil inisiatif besar untuk mengorganisir berbagai komunitas untuk membersihkan sampah plastik, dan berhasil menyingkirkan enam ton dari laut dan dua ton dari daerah pemukiman.
Selain itu, ia juga membantu menanam terumbu karang di laut dan mendirikan bank sampah di daerahnya.
SUARAKU, LAUTANKU
Dari ibu kota NTT, Kota Kupang, masyarakat telah menginisiasi gerakan advokasi yang mendesak pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan untuk mengatasi krisis iklim.
Tantangan seperti gelombang tinggi dan angin kencang membuat hasil tangkapan nelayan berkurang.
Muhammad Mansur Dokeng, seorang nelayan berusia 41 tahun, dan para nelayan kecil lainnya bergabung dalam organisasi Majelis Nelayan Bersatu (Majelis Nelayan Bersatu).) di Kota Kupang.
Upaya advokasi yang dilakukan oleh organisasi nelayan ini telah membuahkan hasil yang positif, yaitu pembangunan yang berkeadilan mulai dari perlindungan terhadap kapal-kapal nelayan hingga mendapatkan pinjaman bank tanpa agunan.
Film atau movie telah lama dikenal sebagai media edukasi yang efektif dan mudah diterima oleh semua kalangan.
Perpaduan unsur audio-visual dan penceritaan yang menarik memudahkan penonton dengan indera penglihatannya untuk menangkap pesan yang disampaikan dalam film.
Film Saksi Iklim bertujuan untuk mengajak para penonton untuk mempelajari dan mengenali beberapa solusi efektif untuk mengatasi krisis iklim yang sedang terjadi, khususnya di NTT.
Harapannya, berbagai solusi iklim yang ditampilkan dalam film ini dapat menginspirasi berbagai kalangan untuk mereplikasi praktik-praktik serupa dan mendapatkan pengakuan serta dukungan dari pemerintah.
Solusi iklim berbasis lokal memiliki potensi untuk meningkatkan ketahanan dan menciptakan kondisi yang lebih adil yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang paling terdampak.
Kisah-kisah ini tidak boleh berhenti sampai di sini.
Kisah-kisah ini harus disebarkan secara luas dan menjadi catatan sejarah tentang upaya, inovasi, dan pendekatan yang penuh kasih untuk mengatasi krisis iklim.
Lihat tulisan aslinya di situs web Humanis.
Tambahkan suara Anda
Bergabunglah dengan Voices for Just Climate Action dan buat perbedaan di komunitas lokal Anda
Bergabunglah dengan kami